Jumat, 20 Juli 2012

The Smurfs

The-Smurfs1

APA masa kecil Anda diisi dengan membaca komik atau nonton film kartun Smurf?
Saya tidak. Entah kenapa, untuk komik Eropa, waktu kecil saya lebih tertarik komik Asterix danLucky Luke. Seingat saya, kisah Smurf saya anggap terlalu kanak-kanak.
Walau bukan pecinta komik Smurf sejak kecil, saya menikmati tontonan versi filmnya yang baru,The Smurfs. Dari situ saya malah jadi tertarik dengan jagat Smurf dan sedikit menyesal kenapa waktu kecil dulu sok dewasa emoh baca komik ini.
Untuk mendalami jagat Smurf, saya ngobrol dengan seorang kawan yang masa kecilnya membaca Smurf dan mencari-cari soal Smurf di jagat maya.
Yang paling menarik dan jadi ciri khas kisah Smurf buat saya adalah betapa “smurf” sebagai kata bisa menggantikan kata lain maupun diberi imbuhan kata-kata yang sudah dikenal. Hal ini juga yang mengawali kelahiran komik Smurf.
Akisah, saat tengah makan bersama seorang kawannya di restoran tepi pantai Belgia, Pierre Culliford mendadak lupa kata “garam” dalam bahasa Perancis dan menyebut schtroumpf. Kawannya, Andre Franquin membalas sambil berseloroh "Ini Schtroumpf-nya dan setelah selesai me-schtroumpf, tolong schtroumpf kembali..." Kemudian keduanya menghabiskan akhir pekan menggunakan bahasa “schtroumpf”.
Culliford kemudian membuat komik Les Schtroumpfs pada 1958 dengan nama pena Peyo. Terjemahan bahasa Belanda komiknya De Smurfen yang di-Inggris-kan jadi The Smurf.
Maka, sepanjang film, kita melihat kata “smurf” mengisi ucapan tokoh-tokohnya, termasuk bagaimana kata kasar “smurf”: “SMURF, SMURF, SMURFETY, SMURF!” Atau saat terkejut, “Oh... my... Smurf!”
Hal menarik lainnya, filmnya membuka wacana bagaimana sebetulnya Smurf bermula, apakah mereka lahir dengan sifat masing-masing (Smurf Pemalas, Smurf Pintar, Smurf Ceroboh, dll) atau nama itu diberikan setelah mereka ketahuan punya sifat-sifat tersebut. Saya bertanya soal ini pada kawan yang membaca Smurf sewaktu kecil. “Seinget gue nggak diceritain, udah dari sananya, deh,” jawabnya.
Baiklah. Menggugat hal-hal kecil begitu panjang lebar malah menghilangkan esensi filmnya. The Smurfs, di sutradarai Raja Gosnell, sejatinya diniatkan jadi tontonan hiburan keluarga. Tidak kurang, tidak lebih. Sebagai tontonan keluarga pula, yang disasarnya segala usia, hingga anak-anak di bawah usia 10 tahun dijamin akan menikmati film ini (apalagi bila mereka menontonnya dalam layar 3D).
***
Film dibuka dengan sebuah narasi. “Tersebutlah sebuah tempat. Sebuah tempat yang tak mengenal kesedihan, dan bahkan yang feeling blue adalah sesuatu yang indah. Sebuah tempat yang dihuni makhluk-makhluk biru kecil setinggi 3 buah apel. Tempatnya terletak di dalam hutan yang indah, jauh tersembunyi dari pedesaan abad pertengahan. Banyak orang percaya tempat itu hanya rekaan, yang bisa ditemukan di buku dongeng atau khayalan anak-anak. Well, we beg to differ.”
Tempat itu desa Smurf, tempat tinggal bagi Papa Smurf dan 99 anak laki-lakinya dan seorang putrinya. Desa Smurf damai dan indah permai. Semua Smurf hidup bahagia dan menyanyi lagu bahagia, “La la lala lala, sing a happy song!”
Tapi tentu, kedamaian Smurf terancam. Ada penyihir jahat Gargamel (Hank Azaria) dan kucing peliharaannya Azrael yang mengincar Smurf. Gargamel ingin menguras sari pati kebahagian makhluk Smurf demi menjadikannya penyihir terhebat.
Cerita makin seru karena kecerobohan Clumsy alias si Smurf kikuk, Gargamel berhasil masuk desa Smurf dan membuat kekacauan. Kejar-kejaran Gargamel dengan beberapa Smurf berakhir dengan mereka semua terlempar ke kota New York masa kini lewat sebuah portal. Makhluk-makhluk setinggi 3 buah apel bertualang di Big Apple.
Ya, di kota New York petualangan sesungguhnya terjadi. Para Smurf, yang dipimpin Papa Smurf tinggal dengan pasangan Patrick Winslow (Neil PatrickHarris) dan istrinya yang tengah hamil Grace (Jayma Mays).
Patrick tengah dikejar deadline mengerjakan proyek promosi produk kosmetik terbaru. Kehadiran Smurf di apartemennya sebetulnya sangat mengganggunya. Tapi ia luluh juga pada kelucuan mereka. Smurf kemudian terbukti malah menyelamatkan kariernya dan membuatnya bahagia. 
***
Menonton The Smurfs bagi penonton dewasa seperti saya cukup menghibur. Walau tingkah Gargamel menggerutu sendirian mirip tokoh sinetron ngomong sendiri, adegan macam itu mungkin diperlukan bagi penonton cilik untuk lebih memahami cerita.
Film ini punya bejibun momen lucu yang bakal bikin ngakak (juga sesekali bikin haru): Gargamel keluar dari asap jalanan New York seolah penyihir hebat, tingkah kucingnya, dan banyak lagi. Dalam bahasa Smurf, film ini smurf banget, Smurftastic dan smurflicious!
Kalau ditanya siapa Smurf paling smurf buat saya, jawabnya Narator Smurf. Buat saya, dia smurfbanget dan bikin kisah Smurf lebih smurf bagi penonton dewasa.
Ingat momen terakhir berikut?
Narrator Smurf: And so the Smurfs left this great city of New York. And I think they left it a little sweeter, a little wiser, a little smurfier. And as that portal began to close for the last time...
Grouchy: Hey! Seriously, stop!
(Narrator Smurf didorong masuk portal)
Narrator Smurf: BYE!  
Saya ngakak, dan jadi jatuh smurf pada Smurf.***
(ade/ade)
NB: Bersiap terngiang-ngiang terus lagu ini usai nonton: "La la lala lala, sing a happy song!”    

Bukan aku yah yang nge-buat nih artikel tapi orang lain , Aku cuman nge-publish-in lagi kok :) Suer dah